Rabu, 13 Februari 2008

Valentin Sebagai Gerakan Kultural Anti Kekerasan

Oleh : Muhammad Muhibbuddin,Koordinator Jaringan Islam Kultural (JIK) Yogyakarta. Domisili di : JL. Minggiran MJ II 1482-B Yogyakarta 55141


Sudah menjadi pemahaman umum bahwa 14 Februari merupakan hari kasih sayang (valentine’s day). Budaya valentin yang secara geneologis merupakan produk budaya nasrani, karena terambil dari nama pendeta Roma St.Valentine, kini telah dirayakan manusia sejagad, lintas negara, suku, bangsa, ras bahkan agama.

Hal tersebut merupakan fenomena aneh dan luar biasa. Sebab, dalam kontek keberagamaan, manusia biasanya terkesan sangat ekslusif (close minded). Namun dalam hal valentin ini manusia sedunia, khususnya anak-anak muda, dengan suka rela merayakan budaya tanpa mempersoalkan dari mana budaya itu datang. Bagi masarakat nasrani pada umumnya bisa dikatakan wajar menjalankan ritual budaya itu. Karena memang itu berasal dari ajaran agama mereka.

Namun yang aneh adalah masarakat non-nasrani, khususnya masarakat muslim yang dengan suka hati ikut nimbrung merayakan valentin. Melihat fenomena ini akhirnya teringat pendapatnya Ulil Abshar-Abdallah (2003) tentang momen liminalitas, yakni saat-saat dimana batas-batas yang sering diterapkan secara ketat dalam kehidupan normal dilanggar atau malah dihancurkan.

Dalam kondisi semacam ini batas-batas primordial yang ketat, yang asalnya di buat untuk membedakan antara yang satu dengan yang lainnya akhirnya hancur dan tidak berguna lagi. Sehingga, yang terlihat adalah nuansa senang, bahagia dan penuh kebersamaan. Bagi mereka yang merayakan sudah tidak lagi mempermasalahkan apa agama kamu, apa idiologi kamu, apa keyakinan kamu dsb. Semuanya larut dalam kebahagiaan prosesi perayaan dan pesta yang mereka lakukan. Apalagi dengan perayaan valentin, masarakat sudah tidak menghiraukan lagi yang namanya agama, suku, kasta atau madzhab tertentu. Mereka larut dalam suasana cinta dan kasih sayang yang menjadi makna dari valentin itu sendiri.

Namun yang perlu dikritisi dalam perayaan valentin ini adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang telah dilakukan oleh sebagian pihak yang merayakan valentin. Yang mana hal ini jelas sangat bertolak belakang dengan pesan moral dan sosial hari valentin. Bentuk-bentuk penyimpangan yang dimaksud diantaranya adalah sek bebas, pesta narkoba, minum-minuman keras dan hura-hura lainya yang masuk dalam kategori patologi sosial. Setiap kali hari valentin tiba maka kebanyakan anak-anak muda merayakaanya dengan aktifitas-aktifitas tersebut. Dengan alasan hari kasih sayang mereka telah memaknai valentin dengan perayaan sek bebas (free sex) dan sejenisnya. Hal-hal negatip inilah sebenarnya yang telah menjadikan makna dan fungsi esensial valentin menjadi ternodai dan terdistorsi.

Kasih sayang sosial dan kemanusiaan
Pada prinsipnya, makna valentin adalah sangat luhur. Karena pesan moral yang ada di dalamnya adalah cinta. Cinta dalam kontek ini adalah cinta yang bersumber dari hati nurani bukan dari hawa nafsu. Artinya, pesan cinta yang ada dalam valentin adalah cinta dalam arti kasih sayang, yang lebih berorientasi kepada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Jadi bervalentin pada dasarnya adalah berusaha mengaktualisasikan komitmen kita untuk setia dan konsisten memperjuangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan berdasarkan kasih sayang.

Maka, budaya valentin dalam kontek ini tentu sangat perlu dan urgen untuk kita budayakan. Karena seperti sekarang ini, bangsa kita telah dilanda krisis kasih sayang. Perang saudara terus menghantui kita, sentimen keagamaan selalu mendapatkan momentumnya, tindak kekerasan mengalami eskalasi dan konflik terus melanda kehidupan kita. Kehidupan kita nyaris tidak pernah damai. Tragedi Poso adalah bukti konkritnya.

Kalau kita selidiki akar masalah terjadinya tindak kekerasan dan perang saudara tersebut, bukan hanya faktor struktural saja, yakni kurangnya stabilitas keamanan yang ada dinegara kita. Namun hal yang paling dominan justru faktor kultural kita yaitu karena kita kurang terbiasa untuk berkasih sayang, bahkan sebaliknya kita selalu terbiasa hidup dengan budaya kekerasan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Bambang Widjoyanto (2001) bahwa kekerasan itu telah menjadi bagian dari keseharian kita. Akibat kebiasaan ini, kekerasan yang hadir setiap saat itu telah mengalami proses internalisasi dalam diri kita, budaya kekerasaan itu tanpa kita sadari sudah menjadi karakter kita sebagai kelompok masarakat dan bangsa. Karena sudah mengkristal; menjadi kaeakter hidup, maka tidak aneh kalau hobi kita sebagai anggota masarakat atau bangsa salah satunya adalah perang antar sesama.

Apa yang kita lihat, kita dengar dan kita lakukan adalah kebanyakan tindak kekerasan. Seperti sering kali kita saksikan, bagaimana saudara-sudara kita digusur, diusir dari tempat tinggalnya, bagaimana teman-teman kita sering kali di PHK secara tidak manusiawi, bagaimana saudara-saudara kita yang menjadi pekerja rumah tangga sering kali dianiaya oleh majikannya, bagaiamana mahasiswa-mahasiswa kita, ketika sedang menyampaikan aspirasinya, sering kali dihajar sampai babak belur oleh aparat keamanan dsb. Bentuk-bentuk kekerasan semacam itulah, yang tanpa kita sadari, telah merasuk dan menginternalisasi ke dalam hati kita, sehingga diri kita cenderung mudah melakukan tindak kekerasan. Kekerasan yang ada di Poso adalah salah satu imbas dari karakter budaya kita tersebut.

Bentuk kekerasan semacam itu, tidak mungkin dihilangkan hanya melalui pendekatan struktural seperti pengerahan keamanan di Poso seperti sekarang ini. Pendekatan keamanan hanya bisa digunakan meredam konflik dan kekerasan yang sifatnya instant dan temporal.Bahkan pendekatan semacam ini justru bisa menimbulkan api dalam sekam. Ketika keamanan masih aktif turun tangan maka kondisi masarakat kelihatan damai, namun didalamnya sebenarnya masih menyimpan potensi kekerasan yang sewaktu-waktu bisa meledak. Dengan demikian , disamping pendekatan struktural semacam itu, hal yang justru sangat urgen untuk meredakan konflik dan aksi kekerasan adalah melalui pendekatan kultural. Dengan pendekatan kultural ini hasil yang dicapai adalah bersifat jangka panjang dan lebih abadi. Karena penyelesaian konflik yang dicapai melalui jalur kultural lebih didasarkan pada kesadaran dan cinta dari pihak yang bertikai.

Valentin adalah salah satu metode pendekatan kultural. Melalui perayaan valentin kita akan terbiasa berbuat kasih sayang antar sesama manusia. Maka dari itu perayaan valentin ini sudah saatnya kita orientasikan untuk menjalin kasih sayang dan persaudaraan antar sesama umat manusia. Sehingga budaya cinta dan kasih sayang nantinya benar-benar menjadi karakter diri kita dan menjadi bagian yang integral kehidupan kita. Sehingga budaya kekerasan dan konflik yang telah berakar kuat dalam kehidupan kita nantinya bisa dibasmi, paling tidak, bisa diminimalisir.. Penyelesaian konflik dengan metode semacam ini tentu lebih efektif dan bertahan lama, karena penyelesaian konflik ini tidak didasarkan atas pemaksaan keamanan, melainkan atas cinta dan kesadaran.

Oleh karena itu, Cinta dan kasih sayang yang ada dalam semangat perayaan valentin harus kita maknai sebagai komitmen konkrit kita terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, bukan sebagai hura-hura pelampiasan nafsu. Ia berpotensi menjadi sarana untuk membasmi budaya kekerasan, menegakkan perdamaian dan kerukunan antar sesama manusia. Maka kalau semangat valentine tidak mengarah kepada kontek ini, dan masih cenderung hedonis dan materialis, maka valentin selamanya tidak akan berguna bagi kita. (IC)

Sumber : http://gp-ansor.org

alentin Varennikov

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari
Valentin Varennikov, Agustus 1994 setelah dibebaskan oleh Mahkamah Agung Rusia. Fotografer: Mikhail Evstafiev
Valentin Varennikov, Agustus 1994 setelah dibebaskan oleh Mahkamah Agung Rusia.
Fotografer: Mikhail Evstafiev

Valentin Ivanovich Varennikov (bahasa Rusia: Валентин Иванович Варенников) (lahir 15 Desember 1923) adalah seorang jenderal dan politikus Soviet/Rusia

Valentin Varennikov lahir dalam sebuah keluarga Kozak yang miskin di Krasnodar.

Dia menjadi perwira junior di Tentara Merah dan ikut bertempur dalam Pertempuran Stalingrad serta dalam operasi militer yang sukses untuk merebut kembali Ukraina dan Belorusia dari tentara Jerman. Varennikov menyelesaikan Perang Patriotik Besar dalam Pertempuran Berlin sebagai salah satu panglima pasukan Soviet yang merebut Reichstag.

Varennikov tinggal di Jerman Timur sebagai perwira pada pasukan Soviet. Ia ditempatkan di sana sampai tahun 1950.

Pada 1954 dia lulus dari Akademi Militer Frunze di Moskwa dan ditunjuk sebagai pangilima distrik militer bagian utara yang bertanggung jawab atas pasukan darat Soviet di wilayah Kutub

Tahun 1969, Varennikov bertanggung jawab atas Pasukan Kejutan Ketiga, dan tahun 1979 menjadi Wakil Kepala Staf Umum Soviet.

Selama tahun-tahun terakhir Perang Soviet-Afganistan, Varennikov menjadi wakil pribadi Menteri Pertahanan Uni Soviet di Kabul, dan melakukan perundingan-perundingan dengan para anggota Misi PBB yang mengawasi penarikan mundur pasukan Soviet dari Afganistan antara tahun 1988 dan 1989.

Tahun 1989, Jendral Varennikov diangkat sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat dan Wakil Menteri Pertahanan Uni Soviet

Tahun 1991 dalam usaha kudeta Soviet, ia bergabung dengan pasukan yang menentang pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev. Setelah kudeta itu gagal, Jendral Varennikov ditangkap, diadili dan dituntut bersama dengan para anggota komplotan kudeta lainnya dan dibebaskan oleh Mahkamah Agung Rusia pada 1994. Dia adalah satu-satunya dari anggota kelompok perencana kudeta yang menolak untuk menerima amnesti.

Tahun 1995, Varennikov, sebagai anggota Partai Komunis Rusia, terpilih sebagai anggota Duma Negara. Di Duma, Varennikov menjadi ketua Komisi Urusan Veteran.

Tahun 2003, dia bergabung dengan blok Rodina dan menjadi salah satu pemimpinnya.

Valentin Varennikov adalah seorang Pahlawan Uni Soviet dan memiliki gelar kehormatan Ksatria Bintang Kemuliaan serta sejumlah medali dan penghargaan Soviet, Rusia, dan negara-negara lainnya.

Dia sudah menikah, mempunyai dua anak laki-laki dan sekarang tinggal di Moskwa





Tidak ada komentar: